Monday, October 16, 2017

We didn't do anything wrong, and then we lost. A case study of Nokia

We didn't do anything wrong, and then we lost. A case study of Nokia
Pada artikel kali ini saya merepost tulisan yang sangat bagus sekali dari Kang Rifki, salah satu senior leader di Telkomsel, mengenai pentingnya untuk beradaptasi dengan perubahan. Case Study dari Nokia menggambarkan bahwa ketika kita merasa bahwa kita sudah besar saat ini, dan do nothing, sedangkan perubahan cepat sekali, maka kita akan terlindas oleh perubahan yang sedemikian dahsyat dan cepat datangnya.

Semoga menginspirasi.
--------------------

"We didn't do anything wrong," ujar Stephen Elop, CEO Nokia, "but then we lost."

Nokia dulu menyebut Android sebagai semut kecil merah yg mudah digencet dan mati. Arogansi dan rasa percaya diri yg berlebihan membuat Nokia terjebak dalam innovator dilema. Sejarah mencatat, yg kemudian mati justru Nokia – tergeletak kaku dalam kesunyian yg perih, menyedihkan lagi menyakitkan.

Dilansir Irish Independent, Jumat 24 Oktober 2014, salah satu yang paling fenomenal adalah Nokia seri 3310, perangkat mobile yang paling laku sepanjang sejarah Nokia. Di dunia, angka penjualan 3310 mencapai 126 juta unit. Nokia juga yang pertama kali menggelontorkan seri smartphone pertamanya yang termahal. Namun kala itu, mereka tidak menyebutnya sebagai smartphone, melainkan seri Communicator, di tahun 2004 diluncurkan Communicator 9500 dengan harga hampir Rp10 juta.

Sayangnya, kejayaan Communicator hanya sebentar. Layar sentuh mulai booming dengan kehadiran iPhone dan sistem operasi Android. Communicator Nokia yang hanya mengandalkan OS Symbian mulai tersingkir. Meski telah berkolaborasi dengan Microsoft pun, Nokia tetap tidak bisa bangkit dari keterpurukan. Nokia kolaps salah satunya karena dihantam iPhone di tahun 2007, padahal produsen iPhone bukan perusahaan telco, namun dari industri komputer.

Iming-iming Microsoft yang ingin bangkit bersama Nokia pun menyebabkan perusahaan Finlandia itu rela menjual seluruh saham divisi mobile-nya ke perusahaan Bill Gates itu. Pertama mereka mengambil Nokia mobile, lalu meluncurkan Lumia bersama, tetap tidak membuahkan hasil. Microsoft pun menendang merek Nokia dan menganggap merek itu tidak lagi menjual.

Tidak hanya Nokia, kita juga belajar dari Kodak, Sony dan lainnya.

Koran & majalah, mati bukan karena sesama rivalnya, namun karena “Facebook & Social Media”. Remaja dan anak muda tak lagi kenal koran/majalah kertas. Mereka lebih asyik main Path, IG atau FB. Pelan tapi pasti industri koran dan majalah akan mati. Televisi seperti RCTI, Trans & SCTV kelak akan kolaps bukan karena persaingan sesama pemain di industri yang sama, tapi dari makhluk alien bernama Youtube. 
Industri taksi goyah bukan karena pesaing sesama taksi, namun  dari layanan taksi independen berbasis aplikasi. Bagaimana jasa keuangan seperti Bank? Bisa jadi kita pun akan menyaksikan ancaman yang sama bagi jasa keuangan dari industri maya bernama fintech.

Dunia tengah menyaksikan tumbangnya merek-merek besar yang tak pernah kita duga akan secepat itu terjadi. Tanpa KESALAHAN apa pun.

Benarkah tanpa kesalahan berarti?

Wrong perception make wrong decision, kata Bro Gatot dalam diskusi di group WA. Yes... inilah yang disebut disruptive era.

Hal ini mengingatkan kita bahwa: "Bahaya yang paling besar adalah saat kita tidak tahu bahwa kita sedang berada dalam bahaya dan tidak mau tahu bahwa kita sedang dalam bahaya." 
Bisa juga dengan bahasa lain: "Kesalahan terbesar adalah saat seseorang tidak tahu bahwa dirinya salah dan merasa tidak akan pernah salah lalu enggan mau mengakui kesalahan".

Merasa semua baik-baik saja, tidak melakukan sebuah "kesalahan" apa pun dan kemudian terkejut saat ternyata kita dalam kondisi lost!

Mungkin kita memang perlu saling mengingatkan bukan?

*Tetap Semangat!*


Salam takzim,
Rifki

No comments:

Post a Comment

hello guys